Senin, 02 November 2009

EKSISTENSI PEMIMPIN NEGARA DALAM ISLAM STUDI TENTANG KONSEPSI BAI’AT, PEMILIHAN, DAN PENGANGKATAN.

RESUM KULIAH UMUM

EKSISTENSI PEMIMPIN NEGARA DALAM ISLAM
STUDI TENTANG KONSEPSI BAI’AT, PEMILIHAN, DAN PENGANGKATAN.

Islam adalah agama tauhid, agama yang dilandasi oleh keterdudukan total, hanya kepada allah yang tunggal. Dan melalui prinsib diatas, masyarakat harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat penting yaitu ; Pertama; kedaulatan milik Syara” ( bukan milik bersama )Kedua ; kekuasaan ditangan umat yang berarti umat melalui khalifah yang terpilih merupakan pelaksanaan hokum-hukum yang diturunkan alahKetiga; kewajiban untuk mengangkat khalifah yang terpilih bagi seluruh kaum muslim.
Dalam teori politik Islam, suksesi kepemimpinan negara (khalifah) yang lazim dikenal dengan konsep bai’at dilakukan setelah pemilihan umum yang bebas tanpa ada paksaan atau intimidasi. Muhammad al-Mubarrok menyatakan bahwa substansi dan entitas bai’at adalah janji dan sumpah antara dua belah pihak; pihak pertama,al-Amir (pemimpin) yang dicalonkan untuk memimpin negara. Pemimpin sendiri berbai’at kepada hukum Allah, Sunnah, dan nasihat orang-orang muslim. Sedangkan pihak lainnya adalah mayoritas pembai’at untuk ta’at, sepanjang ketentuan itu masih dalam koridor ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Sistem Pemilihan Langsung.
Sa’id Hawa menyebutkan bahwa suksesnya kepemimpinan negara ada 3 (tiga) tahapan yang harus dilalui.
1.Pertama adlah tahap pencalonan pemimpin negara (khalifah). Dalam hal ini khalifah sebelumnya atau salah satu dari ahl al-Rayi’ mencalonkan seorang imam yang layak untuk menduduki jabatan pemimpin negara (khalifah);
2.kedua, tahap pemilihan dan penerimaan calon. Pada tahap ini jika calon yang diajukan lebih dari satu, maka anggota dari majelis syura memilih seorang saja dari mereka atau menyetujui saja pencalonan tersebut jika calonnya hanya satu.
3.Ketiga tahap pembai’atan, merupakan realisasi dari tahap pemilihan.

Sistem Penunjukan
Pengangkatan pemimpin negara melalui sistem ini dapat dilakukan dengan 2 cara :
1.Sistem istikhlaf, yaitu khalifah yang sedang berkuasa menunjuk calon pemimpin negara penggantiunya baik seorang maupun lebih.
2.Sistem wilayah al ‘ahdi, yaitu pemimpin negara menetapkan salah seorang di antara puteranya ataupun dari kalangan keluarganya yang lain untuk menjadi khalifah apabila ia wafat. Sistem ini dalam era sekarang lazim disebut dengan Sistem Putera Mahkota.

Di antara kedua sistem di atas, terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Karena jika pada sistem istikhlaf pencalonan seseorang yang telah ditunjuk oleh khaifah sebelumnya untuk menggantikannya dalam jabatan khalifah itu harus mendapat persetujuan dari majelis syura, maka dalam sistem wilayah al ‘ahdi adalah sebaliknya. Artinya, seseorang yang telah ditunjuk oleh khalifah harus harus diterima secara bulat-bulat oleh selurih rakyat, rakyat tidak boleh menolak keberadaannya sebagai khalifah yang baru, dan oleh karenenya sistem ini sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam teori plolitik sunni penggunaan sistem wilayah al ‘ahdi dalam pengankatan khalifah itu dibolehkan, tetapi dengan syarat segala prosedur pemilihan khalifah dipenuhi. Seiain itu penggunaan sistem ini hanya dibolehkan dalam keadaan tertentu, misalnya untuk menghindari fitnah di kalangan kaum muslimin. Hal inipun harus dilakukan dengan persetujuan dan musyawarah Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi.

Tidak ada komentar: